Selasa, 05 Mei 2009

PERANAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT DAN KOORDINASI PEMERINTAHAN TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah mengamanatkan bahwa setiap daerah diwajibkan menyusun perencanaan pembangunan daerah untuk jangka 20 tahun (RPJPD; rencana pembangunan jangka panjang daerah), rencana pembangunan jangka menengah 5 tahun (RPJMD), dan rencana pembangunan jangka pendek 1 tahun (RKPD: rencana kerja pembangunan daerah).
Rencana Kerja Pembangunan Daerah mempunyai kedudukan yang strategis sebagai jembatan antara rencana strategis jangka menengah dengan perencanaan dan penganggaran tahunan. Sesuai amanat Undang-Undang, maka Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) merupakan institusi yang ditunjuk sebagai koordinator dalam penyelenggaraan perencanaan daerah sekaligus mengkoordinasikan perencanaan yang bersifat sektoral di daerah.
Bappeda mengemban tugas dan fungsi sebagaimana amanat Undang-Undang di atas dalam wilayahnya. Dalam menjalankan tugasnya, Bappeda, menurut ketentuan biasanya bertindak selaku unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah, penelitian, dan pengembangan. Guna menyelenggarakan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah, penelitian, dan pengembangan, Badan ini menyelenggarakan fungsi (1) perumusan kebijakan teknis dalam lingkup perencanaan pembangunan daerah, penelitian dan pengembangan, (2) menyelenggarakan koordinasi perencanaan pembangunan daerah, penelitian, dan pengembangan sebagai penunjang penyelenggaraan tugas umum pemerintah, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, dan (3) pengelolaan ketatausahaan badan.
Secara faktual, tugas perencanaan pembangunan daerah, penelitian, dan pengembangan yang diemban Bappeda tidak semudah rumusan kalimat Perda atau RKPD. Tantangan dan peluang telah dirumuskan Bappeda sebagai acuan pelaksanaan tugasnya. Tantangan yang dihadapi bisa saja kondisi geografis wilayah yang membutuhkan dukungan prasarana transportasi memadai untuk menjangkau keseluruhan wilayahnya, secara sosial merupakan daerah dengan tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang masih rendah serta kemiskinan yang masih tinggi, secara ekonomi merupakan daerah potensial untuk dikembangkan dan secara politik merupakan rumah bagi pertumbuhan masyarakat demokratis yang semakin cepat mengkristal. Di sisi lain, peluang yang memberi harapan dapat diidentifikasi meliputi berlakunya era otonomi daerah yang menekankan pertumbuhan kemandirian, merupakan bagian dari kawasan pembangunan Daerah Tertinggal, jumlah penduduk yang memadai, serta memiliki prospek cerah dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.
Tetapi bagian yang paling rumit dari semua hal yang dirinci pada paragraf di atas adalah kebutuhan untuk menyediakan suatu perencanaan pembangunan yang berkualitas. Ini mengandung makna, di satu sisi, tersedianya perencanaan pembangunan daerah yang mampu menjawab tantangan kebutuhan masyarakat, dan di sisi lain, perencanaan berkualitas mampu mengoptimalkan segala potensi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Praktek Musrenbang atau musyawarah perencanaan pembangunan yang selama ini digelar masih berkesan elitis. Akibatnya kebutuhan masyarakat di satu sisi dan orientasi pemerintah di sisi yang lain tidak kunjung bertemu. Pemerintah sendiri, secara sistematis, membatasi peran partisipatif masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah melalui seleksi prioritas kebutuhan yang ujung-ujungnya bermuara pada diloloskannya program pemerintah dan ditundanya program masyarakat.
Perencanaan pembangunan di aras lokal sendiri masih menyimpan ironi. Pemerintah, hingga saat ini, meskipun percaya bahwa pembangunan partisipatif merupakan paradigma yang perlu dikedepankan, tetap menganggap bahwa masyarakat tidak bisa mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan mereka secara tepat. Pemerintah masih memandang dirinya sebagai pihak yang paling tahu apa kebutuhan masyarakat dan paling paham bagaimana mencapai pemenuhannya. Sistem perencanaan yang ’top down’ ini perlahan tapi pasti telah membuat mati suri pranata-pranata sosial tempat dimana semua aktivitas pembangunan mengambil tempat. Andaikan ada respons pranata sosial terhadap program dan perencanaan pembangunan daerah, itu terbatas pada kelompok-kelompok yang mendapat keuntungan dari pembangunan itu.
Keterlibatan masyarakat melalui lembaga-lembaga masyarakat yang ada belum sepenuhnya memberikan kontribusi positif bagi perkuatan perencanaan pembangunan daerah. Sungguhpun mekanisme dan proses perencanaan yang diatur dengan perturan perundangan yang berlaku telah memberikan ruang bagi partisipasi tersut, melalui pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes), Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam), Forum SKPD dan Forum Gabungan SKPD, maupun Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten.
Musrenbang dilaksanakan dengan mengundang kebanyakan lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai pemangku kepentingan yang diajak duduk bersama merumuskan perencanaan pembangunan daerah. Mereka terdiri dari perwakilan kelompok adat, LSM (NGO), organisasi keagamaan, organisasi perempuan, organisasi pemuda, organisasi profesi dan lain-lain. Walau demikian karena lemahnya pengorganisasi kelembagaan masyarakat tersebut, maka kahadiran perwakilan mereka dalam forum-forum perencanaan terekadang lebih menonjolkan peranan mereka sebagai pribadi, ketimbang sebagai unsur organisasi kemasyarakatan. 
Selama bertahun-tahun, pemerintah daerah, mensketsakan pembangunan daerah dari belakang meja birokrasi. Itu pun tidak berlangsung mulus. Peririsan kepentingan antara unit-unit pemerintah yang terlibat dalam perencanaan pembangunan daerah kerap mendatangkan masalah. Lembaga teknis daerah biasanya mempertahankan ego masing-masing dalam perencanaan pembangunan. Pada tahap pra perencanaan, koordinasi antar instansi tidak pernah mempertemukan para pimpinan unit. Tiap unit pemerintah daerah mengirim wakil mereka atau staf mereka dalam rapat koordinasi. Akibatnya, staf yang tidak dapat mengambil keputusan hanya memberi saran yang tidak menyentuh substansi perencanaan. Pada tahap penyusunan rencana pembangunan, unit-unit pemerintah daerah terkesan membatasi peran mereka hanya pada penyerahan data, selebihnya Badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) yang menyelesaikan semua perencanaan hingga detailnya. Masalah baru terlihat pasca perencanaan, ketika unit-unit pemerintah daerah menjalankan program pembangunan tanpa kesatuan irama dan rendah koordinasi. 
Persoalan perencanaan pembangunan tidak terbatas pada restriksi partisipasi masyarakat dalam wujud tidak bertemunya perencanaan top down dan bottom up saja, atau rumitnya koordinasi antar lini pemerintahan, tetapi juga merambat pada dua pertanyaan mendasar, bagaimana mencapai perencanaan yang berkualitas serta faktor-faktor apakah yang perlu dipenuhi untuk mencapai standar perencanaan yang berkualitas? Perencanaan pembangunan sejatinya tidak pernah menyentuh level terbawah dari daftar kebutuhan-kebutuhan pemerintah maupun kebutuhan masyarakat. Perencanaan yang berkualitas selayaknya mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam hal pencarian pekerjaan, pengurangan pengangguran, perkuatan mekanisme pasar dan pembangunan sektor industri berdasar pada penguatan sektor pertanian.
Sementara dari pendekatan hasil, perencanaan pembangunan daerah selayaknya memperhatikan persoalan lembaga perencanaan, data dasar perencanaan pembangunan, tujuan pembangunan, penetapan sasaran, mobilisasi sumber daya, kebijakan yang tepat untuk diambil, administrasi perekonominan yang baik, dukungan masyarakat, dan tentu saja pendidikan yang memadai. Hal terakhir yang patut diperhatikan dalam perencanaan berkualitas adalah administrasi pemerintah yang efisien, tertib, dan bersih. Pengalaman mengajarkan bahwa perencanaan berkualitas hanya memiliki makna bila dikelola, dikerjakan dan diawasi oleh birokrasi yang kebal suap. 
Menilik kondisi riil pada saat ini nampak jelas bahwa harapan akan dihadirkannya perencanaan pembangunan daerah yang berkualitas masih terikat pada variabel kekuatan kelembagaan masyarakat dan koordinasi pemerintah daerah. Sepanjang pranata sosial masyarakat belum cukup adaptif dengan kemajuan dan koordinasi antara lini depan pemerintahan tidak berjalan baik, perencanaan pembangunan daerah yang berkualitas tidak pernah muncul ke permukaan. Atas pertimbangan ini, pernyataan masalah (problem statement) yang dapat diajukan adalah ’perencanaan pembangunan daerah yang berkualitas dipengaruhi secara dominan oleh kekuatan lembaga masyarakat dan koordinasi pemerintah.” 

Tidak ada komentar: